Jacob Ereste :
*Paparan Benz Jono Hartono Tentang Islam Yang Mencerahkan*
Menikmati paparan Akang Benz Jono Hartono, sebagai praktisi media massa sungguh asyik dan menyentuh hati, hingga paput dan perlu diapresiasi, setidaknya kali ini paparannya sungguh berbobot dan perlu mendapat perhatian dari pembaca yang budiman.
Dia berbicara tentang
"Moral tanpa tauhid". Karena sederhana, moral tanpa tauhid bisa diartikan sebagai perilaku benar secara sosial, tapi tanpa dasar iman atau kesadaran ketuhanan. Sebab berpegang pada hukum, atau norma sosial saja — sungguh ganjil dan absurd bila tidak taat kepada perintah Tuhan. Kendati ciri-ciri moral tanpa tauhid bisa bersifat relatif, bisa berubah tergantung situasi, budaya, atau kepentingan sesaat yang muncul seketika tanpa pernah diduga sebelumnya. Padahal, moral tanpa tauhid bisa terlihat baik-baik saja tampak dar luar, meskipun di dalam pengertian tauhid, sesungguhnya kosong dari dimensi ruhani. Sedangkan di dalam Islam, moral harus mengakar pada tauhid, agar apa pun yang dilakukan punya nilai ibadah dan berorientasi pada akhirat, bukan sekadar dunia.
Lalu masalah pendidikan dalam Islam sesungguhnya tidak terbatas pada pesantren saja. Ada berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang memiliki cara dan pendekatan yang berbeda.
Madrasah misalnya yang dikelola oleh Kementerian Agama, memiliki tiga jenjang: MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah) , dan MA (Madrasah Aliyah).
Kurikulumnya umum seperti sekolah biasa, namun memiliki menu tambahan seoerti pelajaran agama lebih intensif. Belum lagi Sekolah Islam Terpadu (SIT) yang melakukan penggabungan kurikulum nasional dan kurikulum Islam (tarbiyah, tahfiz, adab, dll). Biasanya sekolah ini dikelola yayasan swasta.
Pondok Pesantren sendiri, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, fokus pada ilmu agama (fikih, tafsir, hadis, tauhid, dll). Meski begitu, ada juga pesantren modern yang menggabungkan dengan kurikulum umum. Lalu ada Ma’had Aly, pendidikan tinggi berbasis pesantren yang setara dengan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi Ma'had Aly ini biasanya fokus pada ilmu keislaman yang lebih mendalam. Demikian juga dengan Perguruan Tinggi Islam, seperti UIN (Universitas Islam Negeri), IAIN, STAI umumnya menyelenggarakan pendidikan sarjana hingga doktoral dengan basis keilmuan Islam dan umum.
Jadi dapatlah disimpulkan Pendidikan Islam itu luas dan beragam, tidak hanya di pesantren. Intinya, semua bertujuan membentuk insan yang berilmu, berakhlak, dan bertauhid.
Yang menarik, Akan Benz Jono Hartono menyinggung tentang zakat yang dikenakan pajak. Padahal secara umum lembaga zakat resmi tidak dikenakan pajak atas dana zakat yang dihimpun dan disalurkan. Yang penting terdaftar secara resmi di pemerintah, misalnya di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), atau sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang telah mendapat izin dari Kementerian Agama. Sebab dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-6/PJ/2011, disebutkan bahwa dana zakat yang disalurkan melalui lembaga resmi dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak (PKP) oleh muzaki (wajib zakat).
Namun lembaga zakat tetap bisa dikenakan pajak atas aktivitas non-zakat. Misalnya untuk pajak penghasilan pegawai (PPh 21), PPN atas pembelian barang, pajak saat berbisnis (jika punya unit usaha). Artinya, lembaga zakat yang tidak terdaftar resmi tidak mendapatkan pembebasan pajak zakat dan tidak bisa memberikan bukti potong zakat yang diakui secara fiskal. Jadi dapat disimpulkan bahwa zakat yang dihimpun oleh lembaga resmi tidak dikenakan pajak, dan bahkan dapat mengurangi beban pajak muzaki. Tapi lembaga zakat tetap tunduk pada aturan pajak atas aspek lain di luar dana zakat.
Akang Benz Jono Hartono dalam paparannya menyoal juga tentang simbol agama yang sengaja dipinggirkan itu, justru dilakukan oleh umat agama yang bersangkutan itu sendiri. Misalnya sapaan salam dari penganut agama lain acap dianggap suatu masalah yang prinsip, sehingga dilarang keras untuk dilakukan baik dalam upacara dan acara resmi maupun informal.
Sebagai contoh sapaan khas agama Islam, Assalamu'alaikum, Kristen Salomo, Hindu, Swastyastu, Budhha, Namo Budaya dianggap sangat ekslusif. Padahal, dalam tata pergaulan seseorang yang beragama tertentu bisa diminta untuk berbicara dalam lingkungan agama yang lain karena tugas, pergaulan atau ketokohan seseorang yang dianggap layak untuk mewakili komunitas agamanya berbicara di tengah kerumunan atau pertemuan dari komunitas agama tertentu.
Atas dasar inilah, topik pembicaraan lintas agama -- bukan hanya budaya -- jadi menarik dibicarakan agak serius di Indonesia. Lantaran toleransi antar umat beragama acap diperuncing menjadi masalah yang tidak produktif dan mengurangi sikap kebersamaan -- keakuran dan keharmonisan dalam pergaulan yang harus dijaga secara bersama dengan umat beragama lainnya.
Politik kanalisasi terhadap umat beragama mayoritas seperti adanya kecenderungan dari umat beragama itu sendiri yang membuat kultus, tanpa memahami esensi dari sifat dan sikap sirik. Sehingga jebakan dalam pemujaan yang berlebihan menjadi salah kaprah. Apalagi sampai tertipu oleh tampilan spiritualitas palsu, lantaran tampilan, retorika dan pencitraan belaka. Karena esensi dari tauhid tidak ada dalam simbolisme yang kosong apalagi palsu, karena sikap mengkultuskan adalah pertanda dari kebutaan akal dan pikiran serta kerabunan mata hati bersama nurani yang kosong.
Lalu kesan hukum yang tak lagi dapat diharapkan untuk menegakkan keadilan di negeri ini yang menjadi keresahan Akang Benz Jono Hartono, lantaran lalai memahami tabiat bawaan rezim zalim memang sudah dari sononya begitu. Sebab kezaliman itu justru yang utama dikedepankan adalah gasrat untuk terus melanggengkan kekuasaan. Karena itu hukum sekedar menjadi instrumen pelengkap, pemantas semacam asesoris dalam pementasan agar penonton bisa terpukau dan takjub terpesona hingga tidur dalam mimpi pulasnya.
Kemudian tentang Islam yang kaffah itu sebetulnya tidak perlu legal-formal, itulah yang sebanya Islam Profetik -- yang sempat menjadi topik bahasan serius para dai muda di Yogyakarta tahun 1980-an silam tidak perlu sibuk menyebut ayat, apalagi sekedar menghafal -- karena yang penting adalah praktik dengan perilaku dan perbuatan yang nyata. Minimal tidak merugikan orang lain. Tentu saja akan lebih ideal dapat berbagi kebahagiaan, sebab dalam Islam niat baik untuk membantu dengan tulus dan ikhlas itu tidak perlu disebut atas nama agama, kerena dianjurkan untuk memberi kepada siapa pun lebih dari cukup atas getaran rasa kemanusiaan.
Nilai-nilai Islam yang telah menyatu dan dalam mengakar pada budaya bangsa Indonesia memang sudah berlangsung sejak awal Sultan Agung membangun Kerajaan Mataram Islam hampir 500 tahun yang lalu. Dan budaya Islam yang diidentikkan dengan budaya Arab adalah kesalahan persepsi kita sendiri dalam memahami agama yang dianggap setara atau sama dengan budaya. Padahal, agama lebih banyak berperan membentuk agama. Hingga kekeliruan terjadi ketika budaya ingin berperan dalam agama sehingga terjadi sinkretisme yang kacau.
Karena itu, kesadaran beragama dan kesadaran budaya perlu ditekuni lebih cermat dan kritis, tak cuma ditekan seperti bakmi kopyok Jawa yang asli diambil alih oleh panganan yang kita sebut lebih populer dan bergengsi dengan nama spaghetti.
Paparan Akang Benz Jono Hartono yang sangat terkesan skeptis namun mencerahkan "Selama NKRI Penduduknya Mayoritas Islam, Maka Semua Sektor Kehidupan Dipersulit, Hidup Serba Susah*, apakah artinya harus mengurangi jumlah umat Islam agar setara jumlahnya dengan umat beragama lain di Indonesia ini. Agaknya, peningkatan jumlah umat Islam di Indonesia -- seperti yang terus terjadi dan berlangsung di berbagai negara maju -- semacam sunnatullah yang tak tak perlu dibantah, kuantitasnya akan terus bertambah, maka itu yang terpenting adalah mengimbanginya dengan kualitas yang lebih baik untuk menghadapi tantangan jaman dalam pergeseran budaya global yang akan terus dan tetap berlangsung. Karena itu, usaha dan upaya meningkatkan kualitas umat yang lebih tangguh dan tahan banting, perlu dipersiapkan pada setiap lapis generasi yang akan terus bertumbuh dan berkembang dengan tataran tuntunan siratalmustakim untuk menggapai esensi dari rahmatan lil alamin. Maka itu pembenahan pun bisa dimulai dari sajian menu terbaik yang disuguhkan melalui media sosial dalam bentuk apapun, sambil menekan desakan dari pemberitaan hoax yang sangat merusak itu.
Paparan Akang Benz Jono Hartono selaku praktisi media massa, pasti lebih bijak dan arif, seperti termuat dalam Grup WhatsApp para Bunda militan dari Aspirasi Indonesia yang tetap gigih dan tangguh mendedikasikan sisa usia beliau yang berlebih -- semacam bonus -- lantaran umumnya semua telah berusia sepuh. Lalu bagaimana dengan siapa pun yang yang merasa lebih muda, tetapi terkesan melempem tidak bersuara seperti kerupuk garing yang dikunyah dengan semangat yang tinggi ?
Inilah tugas mulia Akang Benz Jono Hartono yang juga mengandung profesi guru yang kelak dapat diharap bergelar menjadi guru besar, hingga maha guru yang pantas dan patut untuk digugu.
Banten, 15 Juli 2025.bppkri berantas com
Social Footer